Senin, 20 Februari 2012

Saudariku… Kuingin Meraih Surga Bersamamu

Penulis: Ummu Ziyad
Memakai jilbab, untuk saat ini dan di negara ini, bukanlah berarti sebuah pengilmuan akan agama. Dulu aku pernah beranggapan bahwa seorang yang memakai jilbab adalah orang yang akan berusaha mempertahankan jilbabnya disebabkan proses pemakaian jilbab itu sendiri membutuhkan pergulatan di hati yang membuncah-buncah dan penuh derai air mata. Tapi sayangnya, makin bertambah usiaku, maka berubah pula anggapan itu disebabkan berbagai kenyataan yang kutemui.
Aku baru menyadari ada sebagian wanita yang menggunakan jilbab hanya karena sekedar disuruh atau diwajibkan oleh orang tua, tempat belajar atau tempatnya bekerja. Jika telah keluar dari ‘aturan’ itu, maka lepas pula jilbab yang menutupi kepalanya. Mungkin karena itulah kain-kain itu tidak menutup secara benar kepala dan dada mereka.
Sebagian lagi, memakai jilbab karena pada saat itu, jilbab terasa pas untuk dipakai dan lebih menimbulkan kesan ‘gaya’ dan kereligiusan agama. Apalagi jika diberi pernak-pernik di sana-sini. Jilbab yang seharusnya menutup keindahan wanita tersebut malah justru menambah keindahan itu sendiri. Ditambah lagi kesan agamis yang terasa nyaman di hati.
Aku juga pernah berpikir dan bertanya-tanya, bahwa orang-orang memakai cadar dan berjilbab lebar apakah tidak kepanasan dengan seluruh atributnya? Apakah tidak repot jika hendak keluar dimana mereka harus memakai seluruh kain panjang tersebut? Mulai dari baju, jilbab yang lebar, masih harus ditambah memakai kaus kaki! Ah! Dan di balik jilbab itu, ternyata masih ada jilbab lagi! Dan… apakah mereka bisa melihat dari balik cadar yang menutup matanya?
Untuk yang satu ini, waktu tidak cukup untuk menjawab semua pertanyaan itu. Karena butuh pengetahuan lain yang merasuk ke dalam hati untuk mendapatkan jawabannya. Pengetahuan akan indahnya Islam dengan segala pengaturan yang diberikan oleh Allah. Pengetahuan akan surga yang begitu indah dan damai dengan segala kenikmatannya. Pengetahuan bahwa surga tidak akan tercium oleh wanita yang mengumbar-umbar aurat di depan khalayak. Pengetahuan bahwa penghuni neraka yang paling banyak adalah wanita. Ternyata kerepotan itu bukanlah kerepotan, melainkan sebuah usaha. Usaha dari seorang wanita muslimah untuk menggapai surga-Nya. Untuk bersanding dengan suaminya ditemani dengan bidadari cantik lainnya. Panas dari jilbab itu bukanlah rasa panas yang menyesakkan pikiran dan dada. Akan tetapi hanya sepercik penguji jiwa yang dapat meluruhkan dosa-dosa kecil dari seorang insan wanita. Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa setiap kesusahan yang dialami muslim merupakan peluruh bagi dosa-dosanya.
Maka… hatiku kini pedih… Ketika kemarin melihat saudariku yang lain, seiring dengan berjalannya waktu, kini telah membuka jilbabnya. Sempat kutanyakan, “Di mana jilbabnya?”
Ia menjawab, “Tidak sempat kupakai.”
Aih… waktu kutanyakan itu, memang pada saat dimana orang-orang sibuk menyelamatkan dirinya dikarenakan bencana alam. Aku hanya terdiam mendengar jawaban itu. Ah… mungkin karena sangat terkejutnya sehingga tidak sempat berbalik lagi untuk mengambil jilbab.
Tapi hari ini… kutemukan dia sudah menanggalkan jilbabnya. Bahkan tak tersisa sedikitpun jejak bahwa ia pernah memakai jilbab. Kini ia telah bercelana pendek dengan pakaian yang pendek pula. Sesak rasanya dada ini. Tetapi belum ada daya dari diriku untuk bertanya lagi tentang sebuah kain yang menutupi kepala dan dadanya. Masih tersisa di benakku, jika seseorang yang menggunakan jilbab melepas jilbabnya… maka habislah sudah… karena perenungan dan pergulatan hati itu kini telah dikalahkan oleh hawa nafsu. Perenungan yang pernah mendapatkan kemenangan dengan dikenakannya jilbab itu kini justru bahkan tak mau diingat. Hanya kepada Allah-lah aku mengadu dan memohonkan hidayah itu agar tetap ada bersamaku dan kembali ditunjukkan kepadanya.
Saudariku… kuingin meraih surga bersamamu. Maka, saat ini aku hanya bisa berdoa. Semoga kita bertemu di surga kelak…
Sumber : Muslimah.or.id

Minggu, 19 Februari 2012

Pilih Sahabat yang Menjadi Pelecut Semangat

Manusia mudah dipengaruhi oleh lingkungannya, utamanya teman pergaulannya. Karenanya Nabi bersabda, ”al-mar’u ’alaa diini khaliilihi”, (keadaan) seseorang itu tergantung agama temannya. Karakter ini tidak selalu berdampak negatif. Tergantung bagaimana cara dan kepada siapa seseorang bergaul. Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengumpamakan teman pergaulan laksana makanan. Di antara makanan ada yang mengandung racun, membahayakan tubuh jika dikonsumsi. Ada pula yang menjadi obat, diperlukan di saat sakit, tapi ditinggalkan dikala sehat. Dan ada pula makanan bergizi, yang secara rutin layak untuk dikonsumsi.
Begitulah halnya dengan sahabat. Pertama ada tipe ’racun’. Bergaul dengannya hanya mendatangkan kerugian. Tertular kebiasaan buruk, terpadam semangat untuk taat atau minimal ikut tercemar nama baiknya. Seperti bergaul dengan para pemalas yang akan menularkan kemalasan. Atau kepada para penyeru kesesatan yang akan mewariskan kesesatan. Juga orang-orang fajir yang cepat atau lambat akan menyeret teman-temannya kepada dosa dan kejahatan.
Yang kedua adalah teman yang diumpamakan obat yang diperlukan dikala sakit. Seperti para relasi yang berhubungan dengan keperluan ma’isyah dan jual beli. Bermuamalah dengan mereka bisa menutup sisi kekurangan duniawi kita. Namun karena fungsinya sebagai obat, maka takaran atau dosisnya pun harus tepat, tidak boleh berlebihan dan melampaui batas yang justru akan menimbulkan madharat.
Teman Sejati Ibarat Nutrisi
Yang paling bermanfaat adalah teman yang diumpamakan layaknya nutrisi bergizi. Jika dikonsumsi secara teratur, kondisi tubuh menjadi fit, kekuatan tubuh terjaga dan seluruh fungsi tubuh berjalan secara sehat. Teman yang baik akan menginspirasi banyak kebaikan, mengingatkan disaat khilaf dan menguatkan di saat lemah. Teman semisal ini sesuai dengan apa yang diumpamakan Nabi shallallahu alaihi wa sallam sebagai penjual minyak wangi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadits shahih bersabda,
إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً
”Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberikan hadiah minyak wangi kepadamu, atau engkau akan membeli minyak wangi darinya, atau setidaknya engkau akan mencium aroma wangi darinya. Adapun bersama tukang pandai besi, bajumu bisa terbakar karena apinya, atau setidaknya engkau pasti akan mendapati bau tak sedap.” (HR Muslim)
Pertemanan dengan orang-orang yang baik dan shalih akan menjadi pupuk bagi keimanan kita. Pertemuan dengan mereka akan menyegarkan dan menguatkan keyakinan kita. Nasihat-nasihat mereka ibarat siraman air di tanah yang tandus. Betapa sangat dibutuhkan teman seperti ini, apalagi di saat menghadapi pilihan yang sulit. Seperti yang pernah dialami Imam Ahmad bin Hambal saat mendapatkan intimidasi penguasa lantaran teguh dengan pendapatnya, bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk.
Adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lam an-Nubala’ menuliskan penuturan Abu Ja’far al-Anbari,
”Telah sampai berita kepadaku bahwa Imam Ahmad ditangkap oleh al-Ma’mun. Maka aku segera menyeberangi sungai Eufrat. Setelah tiba, aku dapati Imam Ahmad di tempatnya dan kuucapkan salam kepadanya. Beliau berkata, ”Wahai Abu Ja’far, engkau telah menyusahkan dirimu.” Lalu aku berkata, ”Wahai Imam, engkau sekarang ini adalah pemimpin, dan kaum muslimin berada di  belakangmu. Jika Anda mengatakan al-Qur’an adalah makhluk, niscaya semua orang akan mengatakan hal yang sama. Dan jika Anda tetap tegas mengatakan bahwa al-Qur’an itu (Kalamulllah) bukan makhluk, maka umat akan berpendapat sama.Sementara jika Anda tidak mati dibunuh oleh penguasa, toh Anda juga akan mati dengan cara yang lain. Maka bertakwalah kepada Allah dan jangan turuti kemauan mereka.”
Mendengar nasihat ini, Imam Ahmad menangis seraya berkata, ”Masya Allah! Wahai Abu Ja’far, ulangilah nasihat Anda.” Akupun mengulanginya dan beliau kembali mengucapkan, ”Masya Allah!”Mencari
Sahabat Pelecut Semangat
Sebagaimana dalam kontek keimanan, dalam hal menjaga semangat belajar, motivasi untuk berusaha dan antusias untuk mendapatkan kemaslahatan dan cita-cita luhur, teman juga memiliki pengaruh yang besar. Selayaknya kita banyak bergaul dengan orang-orang yang memiliki cita-cita besar, enerjik dan teguh pendirian. Karena berteman dengan mereka menjadi energi tersendiri untuk memupuk ’iradah’ (kemauan) yang mulia dan melecut semangat untuk meraih segala hal yang bermanfaat.
Kita bisa menengok sejarah para ulama. Kesuksesan mereka ternyata banyak dipengaruhi oleh orang-orang yang berada di dekatnya. Keulamaan Ikrimah bin Abdillah, dipengaruhi oleh ’kehebatan’ majikannya, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ’anhuma. Salim bin Abdullah bin Umar yang banyak terinspirasi oleh keshalihan dan kefaqihan ayahnya, Abdullah bin Umar bin Khaththab.
Jika ada keterbatasan untuk mendapatkan teman yang mampu meletupkan semangat, maka kita bisa pula mengais inspirasi dengan bergaul bersama para ulama dan tokoh sepanjang sejarah. Yakni dengan membaca sejarah dan kisah-kisah mereka, sehingga kita seakan berteman dengan mereka. Inilah yang dilakukan oleh Abdullah bin Mubarak rahimahullah, yang disebut-sebut sebagai ’amiirul mukminin fil hadiits’, pemimpin orang-orang yang beriman dalam hal hadits.
Semoga Allah menganugerahkan kepada kita para sahabat yang bisa membantu dan menginspirasi kita meraih faedah di dunia dan akhirat. (Abu Umar Abdillah)
sumber : www.ar-risalah.net