Sebagian orang menyangka bahwa jika seseorang ingin mengenal
pasangannya mestilah lewat pacaran. Kami pun merasa aneh kenapa sampai
dikatakan bahwa cara seperti ini adalah satu-satunya cara untuk mengenal
pasangan. Saudaraku, jika kita telaah, bentuk pacaran pasti tidak lepas
dari perkara-perkara berikut ini.
Pertama: Pacaran adalah jalan menuju zina
Yang
namanya pacaran adalah jalan menuju zina dan itu nyata. Awalnya mungkin
hanya melakukan pembicaraan lewat telepon, sms, atau chating. Namun
lambat laut akan janjian kencan. Lalu lama kelamaan pun bisa terjerumus
dalam hubungan yang melampaui batas layaknya suami istri. Begitu banyak
anak-anak yang duduk di bangku sekolah yang mengalami semacam ini
sebagaimana berbagai info yang mungkin pernah kita dengar di berbagai
media. Maka benarlah, Allah Ta’ala mewanti-wanti kita agar
jangan mendekati zina. Mendekati dengan berbagai jalan saja tidak
dibolehkan, apalagi jika sampai berzina. Semoga kita bisa merenungkan
ayat yang mulia,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isro’: 32). Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan,
“Allah melarang mendekati zina. Oleh karenanya, sekedar mencium lawan
jenis saja otomatis terlarang. Karena segala jalan menuju sesuatu yang
haram, maka jalan tersebut juga menjadi haram. Itulah yang dimaksud
dengan ayat ini.”[1] Selanjutnya, kami akan tunjukkan beberapa jalan menuju zina yang tidak mungkin lepas dari aktivitas pacaran.
Kedua: Pacaran melanggar perintah Allah untuk menundukkan pandangan
Padahall Allah Ta'ala perintahkan dalam firman-Nya,
قُلْ
لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ
ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih
suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat".” (QS. An Nur: 30). Dalam ayat ini, Allah memerintahkan
kepada para pria yang beriman untuk menundukkan pandangan dari hal-hal
yang diharamkan yaitu wanita yang bukan mahrom. Namun jika ia tidak
sengaja memandang wanita yang bukan mahrom, maka hendaklah ia segera
memalingkan pandangannya. Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.
“Aku
bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera
memalingkan pandanganku.”[2]
Ketiga: Pacaran seringnya berdua-duaan (berkholwat)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ
“Janganlah
seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal
baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara
mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya.”[3]
Berdua-duaan (kholwat) yang terlarang di sini tidak mesti dengan
berdua-duan di kesepian di satu tempat, namun bisa pula bentuknya lewat
pesan singkat (sms), lewat kata-kata mesra via chating dan lainnya.
Seperti ini termasuk semi kholwat yang juga terlarang karena bisa pula
sebagai jalan menuju sesuatu yang terlarang (yaitu zina).
Keempat: Dalam pacaran, tangan pun ikut berzina
Zina tangan adalah dengan menyentuh lawan jenis yang bukan mahrom sehingga ini menunjukkan haramnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُتِبَ
عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ
فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا
الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا
الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى
وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Setiap anak Adam
telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi,
tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua
telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh).
Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan
dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau
mengingkari yang demikian.”[4]
Inilah
beberapa pelanggaran ketika dua pasangan memadu kasih lewat pacaran.
Adakah bentuk pacaran yang selamat dari hal-hal di atas? Lantas dari
sini, bagaimanakah mungkin pacaran dikatakan halal? Dan bagaimana
mungkin dikatakan ada pacaran islami padahal pelanggaran-pelanggaran di
atas pun ditemukan? Jika kita berani mengatakan ada pacaran Islami, maka
seharusnya kita berani pula mengatakan ada zina islami, judi islami,
arak islami, dan seterusnya.
Menikah, Solusi Terbaik untuk Memadu Kasih
Solusi terbaik bagi yang ingin memadu kasih adalah dengan menikah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
« لَمْ نَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ »
“Kami tidak pernah mengetahui solusi untuk dua orang yang saling mencintai semisal pernikahan.”[5]
Inilah
jalan yang terbaik bagi orang yang mampu menikah. Namun ingat,
syaratnya adalah mampu yaitu telah mampu menafkahi keluarga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا
مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda[6], barangsiapa yang memiliki baa-ah,
maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih
menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena
puasa itu bagai obat pengekang baginya.”[7] Yang dimaksud baa-ah dalam hadits ini boleh jadi jima’ yaitu mampu berhubungan badan. Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud baa-ah adalah telah mampu memberi nafkah. Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullahh mengatakan bahwa kedua makna tadi kembali pada makna kemampuan memberi nafkah.[8] Itulah yang lebih tepat.
Inilah
solusi terbaik untuk orang yang akan memadu kasih. Bukan malah lewat
jalan yang haram dan salah. Ingatlah, bahwa kerinduan pada si dia yang
diidam-idamkan adalah penyakit. Obatnya tentu saja bukanlah ditambah
dengan penyakit lagi. Obatnya adalah dengan menikah jika mampu. Ibnul
Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya obat bagi orang yang saling mencintai adalah dengan menyatunya dua insan tersebut dalam jenjang pernikahan.”[9]
Obat Bagi Yang Dimabuk Cinta
Berikut adalah beberapa obat bagi orang yang dimabuk cinta namun belum sanggup untuk menikah.
Pertama: Berusaha ikhlas dalam beribadah.
Jika
seseorang benar-benar ikhlas menghadapkan diri pada Allah, maka Allah
akan menolongnya dari penyakit rindu dengan cara yang tak pernah
terbetik di hati sebelumnya. Cinta pada Allah dan nikmat dalam beribadah
akan mengalahkan cinta-cinta lainnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan, “Sungguh, jika hati telah merasakan manisnya ibadah
kepada Allah dan ikhlas kepada-Nya, niscaya ia tidak akan menjumpai
hal-hal lain yang lebih manis, lebih indah, lebih nikmat dan lebih baik
daripada Allah. Manusia tidak akan meninggalkan sesuatu yang
dicintainya, melainkan setelah memperoleh kekasih lain yang lebih
dicintainya. Atau karena adanya sesuatu yang ditakutinya. Cinta yang
buruk akan bisa dihilangkan dengan cinta yang baik. Atau takut terhadap
sesuatu yang membahayakannya.”[10]
Kedua: Banyak memohon pada Allah
Ketika
seseorang berada dalam kesempitan dan dia bersungguh-sungguh dalam
berdo’a, merasakan kebutuhannya pada Allah, niscaya Allah akan
mengabulkan do’anya. Termasuk di antaranya apabila seseorang memohon
pada Allah agar dilepaskan dari penyakit rindu dan kasmaran yang terasa
mengoyak-ngoyak hatinya. Penyakit yang menyebabkan dirinya gundah
gulana, sedih dan sengsara. Ingatlah, Allah Ta’ala berfirman,
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Dan Rabbmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (QS. Al Mu’min: 60)
Ketiga: Rajin memenej pandangan
Pandangan
yang berulang-ulang adalah pemantik terbesar yang menyalakan api hingga
terbakarlah api dengan kerinduan. Orang yang memandang dengan sepintas
saja jarang yang mendapatkan rasa kasmaran. Namun pandangan yang
berulang-ulanglah yang merupakan biang kehancuran. Oleh karena itu, kita
diperintahkan untuk menundukkan pandangan agar hati ini tetap terjaga.
Lihatlah surat An Nur ayat 30 yang telah kami sebutkan sebelumnya.
Mujahid mengatakan, “Menundukkan pandangan dari berbagai hal yang diharamkan oleh Allah akan menumbuhkan rasa cinta pada Allah.”[11]
Keempat: Lebih giat menyibukkan diri
Dalam
situasi kosong kegiatan biasanya seseorang lebih mudah untuk berangan
memikirkan orang yang ia cintai. Dalam keadaan sibuk luar biasa berbagai
pikiran tersebut mudah untuk lenyap begitu saja. Ibnul Qayyim pernah
menyebutkan nasehat seorang sufi yang ditujukan pada Imam Asy Syafi’i.
Ia berkata, “Jika dirimu tidak tersibukkan dengan hal-hal yang baik (haq), pasti akan tersibukkan dengan hal-hal yang sia-sia (batil).”[12]
Kelima: Menjauhi musik dan film percintaan
Nyanyian
dan film-film percintaan memiliki andil besar untuk mengobarkan
kerinduan pada orang yang dicintai. Apalagi jika nyanyian tersebut
dikemas dengan mengharu biru, mendayu-dayu tentu akan menggetarkan hati
orang yang sedang ditimpa kerinduan. Akibatnya rasa rindu kepadanya
semakin memuncak, berbagai angan-angan yang menyimpang pun terbetik
dalam hati dan pikiran. Bila demikian, sudah layak jika nyanyian dan
tontonan seperti ini dan secara umum ditinggalkan. Demi keselamatan dan
kejernihan hati. Sehingga sempat diungkapkan oleh beberapa ulama
nyanyian adalah mantera-mantera zina.
Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian dapat menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air dapat menumbuhkan sayuran.” Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.” Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.”[13]
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.remajaislam.com
[1]Fathul Qodir, Asy Syaukani, 4/300, Mawqi’ At Tafaasir.
[2] HR. Muslim no. 5770
[3] HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi(shahih dilihat dari jalur lainnya).
[4] HR. Muslim no. 6925.
[5] HR. Ibnu Majah no. 1847. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Ash Shahihah no. 624.
[6]
Yang dimaksud dengan syabab (pemuda) di sini adalah siapa saja yang
belum mencapai usia 30 tahun. Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah.
(Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 9/173, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392 H)
[7] HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400.
[8] Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 9/173.
[9]Rodhotul Muhibbin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 212, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah Beirut, tahun 1412 H.
[10]Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 10/187, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
[11]Majmu’ Al Fatawa, 15/394.
[12]Al Jawabul Kafi, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 109, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah
[13] Lihat Talbis Iblis, Ibnul Jauzi, hal. 289, Darul Kutub Al ‘Arobi, cetakan pertama, tahun 1405 H.