Tanyakanlah
pada hatimu, apakah yang kamu kerjakan termasuk bagian dari kebaikan
ataukah bukan? Apakah dia termasuk bentuk ketaatan kepada Allah Ta’ala dan RasulNya ataukah bukan? Atau justru perbuatan tersebut akan mendatangkan murka Allah Ta’ala dan RasulNya.
Maka tanyakanlah semua itu pada hatimu…
Kebaikan adalah apa saja yang dapat menenangkan hatimu dan
menentramkan jiwamu, sedangkan keburukan adalah apa saja yang membuatkan
hatimu ragu dan tidak tenang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dari sahabat An-Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu ,
البر حسن الخلق , و الإثم ما حاك في نفسك و كرهت أن يطلع عليه الناس
“Kebaikan adalah akhlak yang baik, sedangkan dosa adalah apa
saja yang meragukan jiwamu dan kamu tidak suka memperlihatkannya pada
orang lain.” (HR. Muslim)
Dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain,
عن وابصة بن معبد رضي الله عنه قال : أتيت رسول الله صلى
الله عليه و سلم , فقال: جئت تسأل عن البر؟ قلت: نعم. قال: استفت قلبك.
البر مااطمأن إليه النفس واطمأن إليه القلب. والإثم ماحاك في النفس و تردد
في الصدر وإن أفتاك الناس وأفتوك.
Dari Wabishah bin ma’bad radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau berkata: “Kamu datang untuk bertanya tentang kebaikan?” Aku menjawab: benar. Kemudian beliau bersabda(artinya): “Mintalah
fatwa kepada hatimu. Kebaikan adalah apa saja yang menenangkan hati dan
jiwamu. Sedangkan dosa adalah apa yang menyebabkan hati bimbang dan
cemas meski banyak orang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan
kebaikan.” (HR. Ahmad (4/227-228), Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (22/147), dan Al Baihaqi dalam Dalaailun-nubuwwah (6/292))
Syaikh ‘Utsaimin menjelaskan makna hadits di atas bahwa yang dimaksud dengan al birru adalah
kebaikan yang banyak. Sedangkan yang dimaksud dengan akhlak yang mulia
adalah seseorang senang jiwanya, lapang dadanya, tentram hatinya, dan
baik pergaulannya. Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Sesungguhnya kebaikan adalah akhlak yang baik.” Maka jika seseorang
mempunyai akhlak yang baik terhadap Allah dan hamba Allah maka ia akan
memperoleh kebaikan yang banyak, dadanya lapang terhadap Islam, hatinya
menjadi tenang dengan iman, dan bergaul dengan manusia dengan akhlak
yang baik. (Syarhul Arba’in An Nawawiyyah)
Adapun dosa, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menjelaskan bahwa ia adalah, “Apa saja yang meragukan dalam hatimu.”
Ketika itu beliau berbicara kepada An-Nawwas bin Sam’an, salah seorang
sahabat yang mulia. Tidak ada sesuatu yang meragukan dan tidak
menenangkan jiwanya kecuali perbuatan dosa. Oleh karena itulah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya), “Apa saja yang meragukan jiwamu dan kamu tidak suka untuk memperlihatkannya kepada orang lain.”
Sementara orang-orang fasik dan durhaka, maka perbuatan dosa tidaklah
membuat keraguan dalam jiwa mereka, dan mereka juga tidak membenci
untuk memperlihatkan perbuatan dosanya kepada orang lain. Bahkan
sebagian mereka merasa bangga dengan perbuatan dosa yang mereka lakukan.
Akan tetapi, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di
sini berbicara tentang seseorang yang lurus hatinya. Sesungguhnya orang
yang lurus hatinya, jika dia ingin melakukan keburukan maka jiwanya
akan ragu dan dia benci perbuatannya diketahui orang lain. Oleh karena
itu maka tolak ukur yang telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlaku untuk orang-orang yang baik dan lurus hatinya. (Syarhul Arba’in An Nawawiyyah)
Imam An Nawawi mengatakan dalam menjelaskan makna hadits ini bahwa
hadits ini merupakan dalil bahwa setiap orang hendaknya melihat kembali
hatinya ketika dia akan melakukan suatu pekerjaan. Jika jiwanya menjadi
tentram ia akan melakukannya, dan jika jiwanya menjadi tidak tentram
maka ia tinggalkan perbuatan tersebut. (Syarhul Arba’in An Nawawiyyah)
Di antara pelajaran penting yang terkandung dalam hadits di atas sebagaimana telah disebutkan oleh syaikh Utsaimin rahimahullah adalah:
- Keutamaan akhlak mulia, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan akhlak yang mulia sebagai sebuah kebaikan.
- Timbangan perbuatan dosa adalah ketika jiwa merasa ragu dan hati menjadi tidak tenang.
- Seorang mukmin tidak suka aib-aibnya diketahui orang lain. Hal ini bertolak belakang dengan orang yang tidak punya malu, ia tidak peduli jika aib-aibnya diketahui oleh orang lain.
- Seseorang hendaknya melihat kepada hatinya, bukan apa yang difatwakan oleh orang lain. Karena terkadang orang-orang yang tidak berilmu berfatwa kepadanya, akan tetapi hatinya masih ragu dan tidak menyukainya. Jika demikian maka hendaknya dia tidak mengembalikan perkaranya terhadap fatwa orang yang tidak berilmu, akan tetapi hendaknya ia kembalikan kepada apa yang ada pada dirinya.
- Selagi seseorang mampu untuk melakukan ijtihad maka ia tidak boleh melakukan taklid. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya): “Meskipun orang-orang memberi fatwa kepadamu dan mendukungmu.”
Wallahu Ta’ala A’lamu bish showwab
Referensi:
Syarh Al Arba’in An Nawawiyyah, Majmu’ Ulama, cetakan pertama tahun 2005, Darul Mustaqbal, Mesir.
Syarh Al Arba’in An Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Daarul ‘Aqidah, Mesir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar